Perubahan Iklim dan Ancaman Kelaparan, Fiksi Hollywood yang Semakin Menjadi Kenyataan

Oleh :

Rusma Mulyadi (Sukarelawan Conscious Planet – Save Soil)
Hendri Surya Widcaksana (Manajer Komunikasi dan Media Sosial – PISAgro)

“We didn't run out of television screens and planes, we ran out of food,”. Salah satu kutipan dari film Box Office berjudul “Interstellar” ini memang cukup menggelitik di telinga. Akan tetapi, jika kita mencernanya baik-baik, ada pesan penting yang ingin disampaikan. Meski terkesan seperti sebuah candaan, penggalan kalimat ini seakan ingin memberikan tamparan keras kepada kita semua, bahwa bumi saat ini tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Baru-baru ini, saya mencoba kembali menonton film Hollywood yang sebenarnya dirilis hampir satu dekade lalu ini, sekitar tahun 2014. Meski sudah dianggap film lama, relevansinya sekarang justru menjadi semakin tinggi. Secara sederhana, film garapan sutradara Christopher Nolan ini ingin bercerita tentang upaya manusia untuk mencari dan menemukan sebuah "rumah baru" di luar bumi. Penyebabnya, planet yang selama ini kita tinggali telah mengalami kerusakan ekologi yang sangat buruk.

Kondisi iklim yang begitu mengkhawatirkan telah mematikan hasil panen, sehingga kelaparan besar melanda. Bumi divonis sakit, bahkan sudah masuk ke fase sekarat, sehingga tidak lagi layak huni. Untuk keberlanjutan bumi, umat manusia harus mencari rumah atau planet baru yang bisa dihuni. Sebuah film fiksi yang cukup menakutkan jika sampai menjadi kenyataan.

Saya sebenarnya bukan penggemar science fiction. Namun premis dari film ini sejujurnya cukup menangkap perhatian saya. Sebuah premis yang sangat berkaitan erat dengan apa yang saat ini saya suarakan, yaitu menyelamatkan tanah, demi menyelamatkan eksistensi kita di planet ini. Ini adalah langkah dan upaya yang saya perjuangkan sebagai bagian dari umat manusia, yang peduli terhadap keberlanjutan tempat yang selama ini kita tinggali. Bagi saya, kita sudah tidak bisa lagi memungkiri, bahwa langkah-langkah dunia ke depan harus sejalan dengan prinsip-prinsip ekologi. Ekosistem dan strategi pembangunan peradaban dunia kedepannya harus seimbang antara ekonomi, kemanusiaan, dan ekologi.

Aspek ekologi ini yang seharusnya dapat diangkat secara holistik, khususnya tentang resiko kepunahan tanah. Sebab, kondisi tanah secara langsung akan mempengaruhi ketersediaan pangan. Bagi saya, ini merupakan isu yang sangat penting, karena langsung menyentuh masyarakat. Persoalan ini sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 2, yaitu komitmen kita untuk mengakhiri terjadinya kelaparan. Apalagi, isu cuaca ekstrim, ketahanan pangan, hingga ancaman kelaparan juga menjadi perhatian serius masyarakat global dewasa ini.

Di Cina misalnya, otoritas Beijing untuk pertama kalinya sepanjang sejarah harus mengambil sebuah langkah yang tidak biasa, dengan menerbitkan peringatan darurat kekeringan. Peringatan ini dikeluarkan setelah kekeringan ekstrim melanda wilayah Sichuan di Delta Yangtse. Perubahan iklim menjadi faktor utamanya. Menurut data pemerintah setempat, sekitar 820.000 hektar lahan pertanian di basin Sungai Yangtse telah rusak. Hal ini semakin memprihatinkan mengingat dampaknya langsung terasa kepada ketahanan pangan 830.000 penduduk, dan keberlangsungan hidup sekitar 160.000 hewan ternak. Di Amerika Barat, sekitar 50 persen petani di California juga terpaksa menebang pohon dan tanaman mereka karena kekeringan ekstrim yang melanda. Cukup ironis, akibat gagal panen, para petani seolah tidak memiliki pilihan lain kecuali menghancurkan tanamannya sendiri.

Di Indonesia, belum lama ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga memperingatkan dampak perubahan iklim yang kini semakin nyata dan memprihatinkan. Kondisi ini dapat menjadi ancaman besar bagi ketahanan pangan nasional, di mana salah satunya adalah ancaman kepunahan tanah. Diperkirakan, tanah di bumi yang kita tinggali ini hanya akan mampu bertahan hingga 60 tahun ke depan. Menurut UN Food & Agriculture Organisation, kondisi tanah saat ini bahkan telah terdegradasi sebesar 52%.

Penipisan tanah yang terjadi selanjutnya akan berpengaruh pada penurunan nutrisi pada makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Persoalan ini semakin mengkhawatirkan, mengingat adanya praktik pertanian kita yang saat ini masih tidak ramah lingkungan, di antaranya dengan menggunakan bahan kimia dan pestisida yang berbahaya. Guru Besar IPB University, Prof Dr Ir Iswandy Anas Chaniago secara gamblang mengungkapkan, 72% dari tanah pertanian di Indonesia saat ini sedang "sakit”. Penyebabnya adalah penggunaan pupuk kimia yang masih tinggi.

Kondisi ini tentu sangat menakutkan bagi kita semua. Saya mengingat-ingat lagi adegan demi adegan di film Interstellar yang tiba-tiba terlintas di kepala. Lantas berpikir, apakah film fiksi Hollywood ini nantinya benar-benar bisa menjadi sebuah kenyataan? Apalagi, kita saat ini dihadapkan pada realita bahwa pada tahun 2060, jumlah populasi dunia akan mencapai 10 miliar manusia. Dari seluruh jumlah tersebut, tidak ada satupun dari mereka yang tidak membutuhkan makanan. Itulah mengapa pasokan dan keamanan pangan menjadi isu yang sangat strategis dan urgent dewasa ini.

Menurut pendapat saya, perhatian dunia harus juga difokuskan ke penyelamatan tanah. Saat ini dengan urgensi perubahan iklim, hampir semua orang bicara soal emisi karbon dan bagaimana mereka akan mencapai carbon neutral atau net zero emission. Tapi hanya sedikit sekali perhatian atau pembicaraan yang membicarakan dampak degradasi kesuburan tanah terhadap perubahan iklim. Kondisi tanah yang sehat memiliki peranan yang sangat penting dalam mitigasi perubahan iklim dengan menyimpan karbon (carbon sequestration) dan menurunkan emisi gas rumah kaca di atmosfer.

Tanah adalah sumber kehidupan, sumber pangan seluruh manusia di dunia. Because soil is life and the death of soil is the death of humankind. Untuk itu, kita harus lebih kuat dan lebih kencang mengingatkan dan mendorong para pembuat kebijakan untuk menjaga, memelihara, dan mempertahankan tanah, terutama kondisi kandungan organik tanah hingga pada tingkat yang mampu menyokong pangan dan kehidupan kita, yakni pada 3-6% kandungan organik. Ini adalah mandat dari salah satu gerakan terbesar di dunia - Gerakan Selamatkan Tanah.

Upaya PISAgro di Indonesia sangat selaras dengan Gerakan Selamatkan Tanah karena mereka bertujuan menciptakan model kemitraan yang merangkul para petani untuk melaksanakan praktek-praktek pertanian yang lebih berkelanjutan. Model dinamakan “inclusive closed-loop” berkolaborasi dengan industri, pemerintah, lembaga finansial dan pendidikan guna membentuk suatu ekosistem yang memfasilitasi akses para petani pada suatu sistem berkelanjutan dan menyedikan pendidikan dan latihan sesuai kebutuhan zaman. Akan baik jika konsorsium-konsorsium seperti PISAgro, yang bekerja dengan perusahaan swas selain dengan pemerintah dapat meningkatkan bahan organik pada tanah pada tanah-tanah pertanian sebagai basis fundamental dalam pekerjaan yang dilakukan menuju memastikan keberlanjutan pertanian yang dipraktekkan para petani Indonesia.

Pada gilirannya, teman-teman dunia usaha juga perlu memahami, bahwa jika kita ingin terus menjalankan usaha dan memperoleh profitabilitas yang bertahan secara jangka panjang, maka bumi dan isinya harus kaya microbiome. Disini, peran serta dunia usaha dan industri, dan juga para petani amat diperlukan. Apakah itu melalui inovasi dan teknologi, kemitraan, implementasi regenerative agriculture, pendekatan nature based solution untuk menangani hama, juga terobosan-terobosan lainnya. Tapi salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan dari segala intervensi ini hanyalah dalam bentuk peningkatan % kandungan organik tanah.

“So, how do you plan on saving the world?”. Cooper, seorang mantan pilot NASA di film Interstellar bertanya. Saya percaya, kita semua sepakat bahwa tentu saja jawabannya bukan dengan meninggalkan planet yang begitu kita cintai. Di lain pihak, saya yakin, melalui tindakan kolaboratif dari regulator, pemerintah, pelaku bisnis, dan kita semua, maka planet bumi dapat bertahan dari ancaman kepunahan tanah.

Apakah Yang Menjadi Ending Cerita Kita?

Layaknya sebuah film, maka kehidupan yang kita jalani ini sejatinya juga merupakan sebuah cerita. Kita semua, sebagai pemerannya, bisa menjadi penentu ending-nya. Lantas, apa akhir cerita yang kita harapkan dari kondisi perubahan iklim yang terjadi saat ini? Semua ada di tangan kita. Jika kita ingin bumi yang kita tinggali ini terawat dan terjaga dengan baik, maka harus ada langkah dan solusi nyata yang kita tunjukkan.

Langkah tersebut kita mulai dengan sebuah kesadaran, bahwa semua ini adalah tanggung jawab kita bersama, bukan hanya saya, Anda, mereka. Menyelamatkan bumi yang sedang sakit ini butuh kesadaran dan upaya bersama dari kita semua. Seperti yang Cooper, sang pilot NASA, katakan di film Interstellar: “I am thinking about my family, and millions of other families,”.

Kita perlu ingat apa yang generasi ini putuskan dan lakukan dalam 5 hingga 10 tahun ini, akan menentukan apakah cerita fiksi di film Interstellar akan menjadi kenyataan bagi anak cucu kita kelak.

Tentang Gerakan Selamatkan Tanah

Dengan 52 persen dari tanah pertanian mengalami degradasi, krisis tanah di dunia memerlukan perhatian yang mendesak. Untuk menciptakan rasa mendesak ini fokus untuk menanggapi ancaman kepunahan tanah ini, Sadhguru di bulan Maret, guna Selamatkan Tanah, telah menempuh suatu perjalanan melalui sepeda motor secara sendirian selama 100 hari, melewati 30,000 km melintasi Eropa, Asia Tengah, Timur Tengah dan India, bertemu dengan pemimpin politik, saintis, influencer dan warga negara di setiap negara. Mendapatkan suatu response yang luar biasa, gerakan Selamatkan Tanah telah menyentuh sampai saat ini lebih dari 3.9 miliar orang, dengan 75 negara menyetujui untuk bertindak guna Selamatkan Tanah.